Seorang teman pernah menggambarkan mantan pacarnya begini: “Dia seperti kado yang dibungkus cantik, tapi isinya udara.”
Tampak memesona di atas kertas—sukses, berpakaian rapi, tutur kata sopan—tapi begitu masuk ke wilayah yang lebih dalam, seperti kedewasaan emosional atau empati, dia gagal total.
Itulah masalahnya. Pria-pria seperti ini tahu betul kotak mana yang perlu dicentang agar tampak seperti pasangan ideal, setidaknya di awal.
Seperti makanan mahal yang terlihat luar biasa di Instagram, tapi hambar saat dicicipi. Presentasinya sempurna. Rasanya? Tidak ada.
Setelah mengamati begitu banyak hubungan di sekitar, muncul pola-pola halus yang bisa menjadi detektor awal: apakah seseorang benar-benar berkualitas atau hanya tampak demikian.
Karena tidak semua red flag datang dalam ukuran bendera. Beberapa cuma seukuran stiker, dan hanya terlihat jika kamu benar-benar memperhatikan.
Dilansir dari VegOut, berikut ini kriterianya
1. Memperlakukan pekerja layanan dengan buruk
Perhatikan bagaimana dia bersikap pada pelayan restoran, kasir, pengantar barang, atau petugas parkir. Apakah dia bersikap angkuh? Tidak sabar? Atau bahkan tidak mengakui keberadaan mereka?
Sikap ini mungkin tampak sepele, tapi bisa menjadi kebocoran kecil dari bendungan besar. Pria yang tidak bisa bersikap sopan kepada orang yang dianggapnya “di bawah” biasanya akan memperlakukanmu dengan cara yang sama saat euforia hubungan memudar.
Cara seseorang memperlakukan orang yang tidak punya kuasa atas hidupnya sering kali menunjukkan siapa dia sebenarnya.
2. Dalam semua cerita, dia selalu jadi korban
Setiap mantan pacar disebut “toxic”. Setiap mantan bos “tidak masuk akal”. Setiap teman yang menjauh “penuh iri”. Kalau setiap cerita hidupnya selalu memposisikan dia sebagai pihak yang tertindas, hati-hati.
Tentu, semua orang pernah diperlakukan tidak adil. Tapi kalau dia tidak pernah mengambil tanggung jawab sedikit pun atas konflik dalam hidupnya, itu tanda bahwa ia kesulitan untuk bercermin.
Dan kalau tidak bisa melihat kesalahannya, bagaimana bisa bertumbuh?
3. Gencar di awal, lalu perlahan ghosting
Di awal, dia seolah hadir 24/7. Chat tanpa henti, perhatian luar biasa, gestur romantis level film drama. Tapi beberapa minggu kemudian? Dingin. Sibuk. Sulit dihubungi.
Siklus semacam ini sering dikira gairah, padahal lebih dekat ke manipulasi. Hubungan sehat tidak dimulai dengan letupan kembang api yang cepat padam, tapi seperti lilin yang menyala perlahan dan stabil.
Pria berkualitas tidak akan membuatmu terbang tinggi hanya untuk dijatuhkan sesudahnya.
4. Meremehkan minat dan hobimu
Ia tidak harus menyukai semua hal yang kamu sukai, tapi kalau dia mulai menyindir klub bukumu “kekanak-kanakan” atau menyebut minatmu pada fesyen sebagai “fase aneh”, itu tanda bahwa ia tidak menghargai siapa dirimu.
Kritik halus yang terus-menerus seperti ini bisa membuatmu ragu untuk jadi diri sendiri. Dan perlahan, kamu bisa kehilangan warna yang membuatmu unik.
5. Tidak konsisten dalam komunikasi dan rencana
Hari ini dia mengirimimu pesan panjang penuh emoji. Besok? Hilang tanpa jejak. Katanya ingin makan malam bareng, tapi membatalkan satu jam sebelumnya karena "mendadak ada urusan".
Inilah definisi inkonsistensi yang bikin frustrasi. Tanpa kejelasan dan keteraturan, kamu hanya akan terus menebak-nebak di mana posisi dirimu dalam hidupnya.
Hubungan bukan teka-teki silang, dan pasangan yang baik tidak akan membuatmu menebak terus-menerus.
6. Defensif saat diajak berdiskusi
Saat kamu menyampaikan kekhawatiran atau uneg-uneg, dia langsung balik menyerang atau bilang kamu terlalu sensitif. Alih-alih membahas masalahnya, ia malah memutar balik menyalahkanmu.
Ini bukan diskusi. Ini debat satu arah. Dan itu melelahkan.
Pasangan yang sehat akan membuka ruang untuk memahami, bukan memasang tameng. Bersikap defensif seperti memakai baju zirah di ruang tamu. Memang melindungi, tapi juga menghalangi kedekatan.
7. Menjaga "opsi terbuka"
Dia belum siap komitmen, tapi ingin tetap dekat. Masih aktif di aplikasi kencan, tapi bilang hubungan kalian “istimewa”.
Atau mungkin terlalu sering menyebut "teman perempuan"-nya dengan nada yang terasa agak terlalu hangat.
Kalau seseorang belum selesai menimbang-nimbang apakah kamu yang terbaik, dia belum layak mendapatkan kesetiaanmu.
Hubungan yang kuat lahir dari keputusan untuk saling memilih, bukan dari daftar cadangan yang terus diperbarui.
8. Kesulitan berempati secara tulus
Mungkin dia mendengarkan, tapi tidak benar-benar memahami. Saat kamu cemas, dia menyodorkan solusi cepat. Saat kamu bahagia, dia malah menyepelekan antusiasmemu.
Rasanya seperti berbicara dengan dinding yang mendengarkan, tapi tidak membalas.
Empati bukan sekadar tahu kamu sedih. Tapi mau menyelami rasa itu bersamamu. Tanpa jembatan ini, hubungan hanya akan terasa datar, tak peduli seberapa lama kalian bersama.
Pasangan berkualitas rendah tidak selalu datang dengan peringatan besar. Sering kali mereka masuk dalam hidupmu seperti tamu kehormatan—berpakaian rapi, bicara manis—tapi membawa kekacauan dalam bungkus hadiah.
Jadi, jika delapan kotak ini mulai tercentang satu per satu, jangan abaikan. Karena cinta yang sehat tidak membuatmu terus bertanya-tanya apakah kamu cukup berharga. Cinta yang sehat membuatmu yakin, setiap hari, bahwa kamu dipilih dan kamu aman.